Konsep Keagamaan yang Terkandung pada
Arsitektur Masjid Demak Masa Kesultanan Demak.
Salah satu aspek
kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan peri kehidupan bangsa Indonesia
adalah arsitektur. Arsitektur adalah salah satu segi dari
kebudayaan yang menyentuh segi kemanusiaan secara langsung, yang dengan
sendirinya mengandung faktor pelaksanaan kehidupan manusia. Hal tersebut dapat
berupa gambaran dari corak kehidupan masyarakat dengan segala kelengkapannya
seperti masa kehidupannya, pembentukan kebudayaan, serta bagaimana kehidupan
tersebut direalisasikannya ke dalam bentuk fisik bangunan, karya seni dan
bentuk kepercayaannya (Rochym, 1983: 1-2). Kehidupan manusia sangat erat
hubungannya dengan arsitektur. Karena
arsitektur itu merupakan segi kebudayaan manusia yang berpengaruh pada
kehidupan manusia itu sendiri, dalam arsitektur itu sendiri dapat membantu
manusia dalam bidang pembangunan.
Arsitektur merupakan
titik tumpu dari hasil usaha orang-orang yang melahirkannya, serta merupakan
suatu konsepsi yang sesuai dengan keadaan, tingkat kecakapan serta penghayatan
masyarakat terhadap arsitektur tersebut pada suatu saat tertentu. Sebagai
penampilan yang berwujud (konkrit), arsitektur sangat erat kaitannya dengan
aktivitas rokhaniahnya. Antara lain erat kaitannya dengan seni sebagai
perwujudan aktivitas rokhaniah dari kehidupan manusia. Bersama-sama dengan seni
rupa, seni suara, seni sastra, seni pahat, seni ukir dan lain-lainnya
arsitektur telah melahirkan kepuasan yang maksimal sebab telah dapat menjadi
wadah untuk menyalurkan perasaan manusia yang membuatnya, meskipun tentunya
bukan itu saja satu-satunya tujuan dari penampilan arsitektur tersebut (Rochym,
1983: 2). Sesuai apa yang dijelaskan di atas arsitektur mempunyai hubungan
dengan rokhaniah dalam kehidupan manusia. Di dalam arsitektur banyak terkandung
karya seni. Sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur juga merupakan bagian
dari seni.
Banyak lagi sasaran
yang berkaitan dengan perwujudan arsitektur tersebut, sebab pada hakekatnya
arsitektur dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. dengan demikian
arsitektur akan senantiasa berhubungan dengan masalah-masalah adat kebiasaan,
mengikuti pola kehidupan, yang disertai dengan keterampilan untuk mewujudkannya
(Rochym, 1983: 2). Dalam hal tersebut arsitektur juga ada batasan-batasannya,
karena dalam kehidupan manusia banyak masalah-masalah yang menyangkut adat
istiadat, dan arsitektur juga harus mengikuti pola kehidupan manusia itu
sendiri.
Serupa dengan halnya
seniman memahat patung orang yang menampilkan arsitektur senantiasa akan
bersentuhan dengan masalah bentuk, komposisi, proporsi, harmoni, keseimbangan,
proporsi, harmoni, keseimbangan (bellance), yang semuanya merupakan unsur-unsur
seni yang menuntut orang yang melihatnya ke arah perasaan estetika. Rasa
keindahan yang berhubungan dengan emosi dan rokhani manusia. Apabila itu adalah
seni lukis, maka tentunya warna dan nada yang disebabkan oleh ketajaman dan
keredupan cahaya, juga akan merupakan unsur yang amat penting (Rochym, 1983:
2). Dalam unsur seni lukis dan seni pahat itu adalah unsur yang palling dominan
dalam pembuatan arsitektur bangunan. Sehingga seni pahat dan seni lukis
memiliki nilai yang besar untuk suatu arsitektur pembangunan.
Kelebihan yang
terdapat pada arsitektur apabila dibandingkan dengan seni pahat dan seni lukis
itu ialah karena pada arsitektur harus ditambahkan faktor kegunaan yang
menyertainya secara relevan dengan penampilannya sebagai keperluan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. dalam perkembangan selanjutnya maka kegunaan itu
erat pula kaitannya dengan masalah ruang yang
sekaligus merupakan faktor yang dipikirkan dalam pembuatan arsitektur. Itulah
perbedaan yang nyata dari kedua karya seni tersebut dalam kesamaannya sebagai
wadah untuk menyalurkan kepuasan rokhaniahnya. Nilai kepuasan yang ditimbulkan
oleh kesan keindahan dari kedua karya seni tersebut memang dapat dirasakan,
sukar dianalisa tetapi dapat dinyatakan kehadirannya melalui realisasinya.
(Bangunan, Patung-patung, seni ukir, seni hias, dan sebagainya) (Rochym, 1983:
2-3). Itulah secara garis besar kelebihan dan kekurangan pada arsitektur.
Tinjauan secara umum
tentang masjid dalam karya arsitektur Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki
ciri tersendiri tentang pembangunan arsitektur masjid. Perkembangan pembangunan
di Indonesia dalam hal arsitektur masjid sangatlah banyak. Semua itu disebabkan
salah satunya adalah wilayah geografis Indonesia. Sehingga pembangunan
arsitektur masjid di Indonesia menyesuaikan dengan keadaannya.
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang menyebabkan letaknya yang berjauhan antara satu daerah
dengan daerah lainnya, yang terpencar diseluruh Nusantara. Akibat dari berjauhannya
dari daerah-daerah itu, maka timbullah perbedaan jenjang penampilan arsitektur
dari daerah-daerah itu, karena lingkungan serta adat-istiadat yang berbeda
pula. Faktor komunikasi yang menentukan kedudukan dari suatu daerah pun yang
menyebabkan perbedaan yang serupa, sehingga menyebabkan satu daerah tertentu
akan lebih cepat merubah kebiasaan lamanya, sedangkan daerah lainnya mengalami
perubahan yang lamban dan ada pada tingkatannya yang awal (Rochym, 1983: 37).
Letak geografis di Indonesia sangatlah mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang
dialami oleh masyarakat Indonesia. Hal ini yang menimbulkan kebiasaan menetap
sehingga merupakan titik tolak adanya corak khas yang tradisional sifatnya.
Masjid Demak memiliki arsitektur yang
sangat unik, dan arsitektur ini memiliki cerita yang unik pula. Keunikan yang
pertama terletak pada ke empat soko guru,ke empat soko guru tersebut memiliki
keunikan masing-masing,dan ke empat soko guru tersebut di buat oleh empat wali, yaitu Sunan Kalijaga yang membuat soko
guru bagian timur laut, Sunan Bonang membuat soko guru bagian barat-laut, Sunan
Ampel membuat soko guru bagian tenggara, sedangkan Sunan Jati membuat soko huru
bagian barat-daya.
Saat pendirian soko guru ada cerita yang sangat unik,ceritanya seperti ini. Setelah ke tiga soko
guru tersebut sedah terkumpul dan siap untuk didirikan, ternyata soko guru milik Sunan Kalijaga belumlah siap,karena
Sunan Kalijaga lupa akan kewajibannya membuat soko guru untuk Masjid Demak. Setelah
beliau teringan akan kewajibannya tersebut maka segeralah beliau mengumpulkan potongan
kayu kecil-kecil dan diikat menggunankan rumput rawadan hingga menyerupai soko
guru.Dan Soko guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga sering disebut dengan soko
tatal,sebutan ini karena, bahan dari soko ini berasal dari kepingan-kepingan
kayu kecil yang dikumpulkan dan di ikat hingga berbentuk seperti soko guru.
Walau terbuat dari potongan-potongan kayu kecil yang dikumpulkan menjadi satu
dan di ikat, soko tersebut sangatlah kokoh dan kuat dan menjulang tinggi sampai
ke atap.
Soko guru buatan Sunan Kalijaga tersebut
memiliki panjang 32 m dengan jari-jari 1,45 m. Sekarang soko guru tersebut
masih dapat dilihat di Masjid Demak. Soko guru tersebut kini di ikat
menggunakan kawat agar bentuknya sama dengan soko-soko guru yang lain. Dibagian
serambi masjid terdapat pula tiang-tiang sebanyak delapan buah. Soko-soko
tersebut menurut cerita berasal dari Raja Majapahit, yaitu Prabu Browijoyo
ke-V, yang merupakan ayah dari Raden Patah, Sultan Demak ke-I. Tiang-tiang ini
memiliki arsitektur berupa ukiran-ukiran yang bermotif Hindu.
Selain terdapat soko guru yang unik dan ukiran
dengan coraki Hindu, terdapat pula perhiasan-perhiasan di masjid demak tersebut
terutama yang muerupakan ukir-ukiran. Ukiran-ukiaran tersebut di dapat dari
sumbangan-sumbanga orang-orang Jawa yang dulu sudah memeluk agama Islam. Jumlah
lukisan-lukisan tersebut ada 65 buah, yang sekarang lima buah lukisan tersebut di tempelkan di dalam masjid
sedangkan 60 buah ditempel diluar masjid dan sumbangan lainnya diletakkan di
luar masjid yang berupa tiga buah gentong dudo, dua buah diletakkan di selatan
dan utara kolam dan satunya lagi di letakkan di dalam makam Sultan di sampung
masjid.
Terdapat pula mimbar yang ada dulu du
dapat dari Sultan Demak ke-I, mimbar itu dahulu merupakan damparnya Sultan
Demak. Pada pintu makam Sultan Demak terdapat arsitektur lukisan yang khas,
yaitu lukisan yang dinamakan Kepala Dua Petir. Lukisan tersebut dulu dibuat
oleh Ki Ageng Solo.
Masjid ini juga memiliki keistimewaan, berupa arsitektur khas Jawa. Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk
segitiga sama kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di
Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap
limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu bahwa seorang beriman
perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya yaitu : iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini juga memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu
syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini juga memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna
rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya,
rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Ada pula
maksurah yang merupakan
artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika
unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid.
Artefak maksurah didalamnya berukirkan
tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di
dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu
Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat. Didalam Masjid Demak tersebut
terdapat pula beberapa makam raja-raja kesultanan Demak dan juga para abdinya.
Disanan juga terdapat museum yang berisi berbagai hal tentang riwayat berdirinya
Masjid Demak.
Di
masjid ini, terdapat tiga
arah pintu masuk ke dalam bangunan utama masjid. Sedangkan pintu di tengah,
langsung mengantarkan ke serambi masjid. Serambi masjid ini seluas 31×15 meter
dan berlantaikan teraso berukuran 30×30 sentimeter yang sering disebut sebagai
‘Serambi Majapahit’. Disebut serambi
Majapahit karena serambi ini memiliki delapan tiang penyangga bergaya Majapahit
dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit. Bangunan serambi ini
merupakan bangunan tambahan yang dibangun pada masa Adipati Unus atau yang
terkenal dengan sebutan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor saat menjadi sultan
Demak kedua pada tahun 1520. Ruang
utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah
bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang
utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan menghadap ke arah kiblat. Di dalam
ruang utama masjid, juga terdapat pawestren atau ruangan untuk
shalat bagi wanita, dengan luas 15×17,30 meter yang terletak di sisi selatan
masjid. Ruang shalat wanita ini
dibangun pada 1866 ketika KRMA Arya Purbaningrat menjadi adipati Demak. Atapnya
berbentuk limas, disangga delapan pilar bergaya Majapahit. Masih ada napas
akulturasi pada bagian interior masjid. Perubahan dari tata cara berserah
kepada sang pencipta agama Hindu di ruang terbuka ke dalam masjid memunculkan
ide untuk membuat interior masjid menjadi lebih luas. Kesan luas ini bisa disaksikan pada bagian ruang utama masjid yang
berukuran 25×26 meter yang mampu menampung lebih dari 500 jamaah ini. Di
sebelah kanan ruangan utama, terdapat ruang khalwat atau ruang perenungan berukuran 2×2,5 meter ini
dulunya dipakai para penguasa Kesultanan Demak untuk memohon petunjuk Allah
SWT. Hampir seluruh ruangan ini dipenuhi ukiran model
Majapahit. Pada salah satu sudutnya terdapat relief aksara Arab yang memuliakan
kebesaran Allah SWT. Sementara itu, di luar bangunan utama, di kompleks masjid
Agung Demak juga terdapat beberapa bangunan pendukung. Di kompleks masjid, terdapat 60 pusara makam pejuang Muslim Demak
dan para pengikutnya. Antara lain, para sultan Demak, seperti Raden Patah, Pati
Unus, dan Sultan Trenggono.
DAFTAR RUJUKAN
Purwadi & Maharsi. 2005. Babad
Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan
amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah
Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan
Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam
Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.