This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday 17 October 2012

Teori yang Melatar Belakangi Kebudayaan Megalitik


Teori yang melatar belakangi kebudayaan megalitik
Kebudayaan megalitik pada dasarnya hanya merupakan sebuah kebudayaan yang batas lingkupnya sedikit sekali dan bekisar hanya merupakan sebuah hasil kepercayaan dari kebudayaan tadi. Kebudayaan megalitik ternyata berkelanjutan dan mengalami perkembangan terus menerus secara universal dan menyebabkan munculnya banyak teori tentang persebarannya, diantaranya:
·         W. J. Perry menyatakan bahwa kebiasaan mendirikan bangunan-bangunan besar (megalitik) berasal dari Mesir Kuno dan kebudayaan tadi dikembangkan di Indonesia dengan sekelompok emigran yang datang dari Mesir.
·         Penjelasan dari W. J. Perry ini disempurnakan oleh R. Von Heine Geldern (1945: 149) menyatakan bahwa emigran bangsa Mesir Kuno yang datang di Indonesia, pada awalnya hanya ingin mencari emas dan mutiara untuk sarana pemujaan (religi) yang bernuansa magic, yaitu Giver of Live. Dalam keadaan seperti itu emigran Mesir sebagai keturunan Dewa Matahari (Children of Sun) dan saat itulah mereka mengajarkan cara-cara pemujaan dan pendirian bangunan besar kepada suku-suku primitif yang mereka datangi.
·         Mac Millan Brown menyatakan bahwa kebudayaan megalitik di Indonesia dibawa oleh Ras Kaukasia yang datang dari benua Mediterania melalui Benua Asia bagian Selatan.
·         R. Von Heine Geldern (1945: 151) mengutarakan bahwa kebudayaan megalithik yang masuk di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada zaman neolitik yang bersamaan dengan datangnya kebudayaan kapak persegi. Gelombang pertama disebut kebudayaan megalithik tua (the older Megalithik Culture). Gelombang selanjutnya masuk pada zaman logam yakni pada zaman perunggu yang bersamaan dengan kebudayaan Dongson. Gelombnag kedua ini disebut dengan kebudayaan megalithik muda (the younger Megalithik Culture).

DAFTAR RUJUKAN
Suprapta, B. 1991. Ikhtisar Prasejarah Indonesia: Pendekatan Model Konsepsi Teknologi.
            Laboratorium Sejarah FPIPS IKIP MALANG. Malang.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius. Jogjakarta.
Kartodirdjo, S dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Departemen Pendidikan dan
            kebudayaan. Jakarta.
Soejono. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah. Balai Pustaka. Jakarta.

Kebudayaan Megalitik di Sulawesi

Kebudayaan Megalitik di Sulawesi
            Kebudayaan yang berada di Sulawesi sebagian besar adalah hasil dari kebudayaan megalitik yang mereka adopsi. Di Sulawesi terdapat banyak sekali Bangunan megalitik yang fungsinya sebagian besar digunakan untuk pemujaan.. Bentuk bangunan ini bermacam-macam dan meskipun sebuah bentuk berdiri sendiri ataupun beberapa bentuk merupakan suatu kelompok, maksud pendirian bangunan tersebut tidak luput dari latar belakang pemujaan bagi yang sudah mati. Tempat penguburan itu antara lain kalamba, waruga, sarkofagus, batu kandang, temugelang, dan kubur batu. Sebagai pelengkap terdapat bangunan menhir, patung nenek moyang, batu saji, lumpang batu, batu lesung, batu dakon, pelinggih batu, tembok batu atau jalan berlapis batu.
1.      Dolmen
           Fungsi dolmen tidak hanya sebagai tempat menaruh sesaji saja. Beberapa varasi bentuk dolmen dapat digunakan sebagai tempat penguburan, digunakan sebagai pelinggih, tempat duduk kepala suku atau raja dan dipandang sebagai tempat keramat saat pelaksanaan upacara adat. Menurut pengamatan Van der Hoop dolmen yang paling baik atau paling ideal adalah dolmen yang berukuran 3 X 3m dengan tebal 7 cm yang berdiri di atas 4 buah batu penenggang.
2.      Menhir
Menhir merupakan batu tegak yang telah atau belum dikerjakan, dan diletakkan dengan sengaja di suatu tepat untuk memperingati orang yang telah mati. Menhir dianggap sebagai medium penghormatan, menampungg kedatangan roh sekaligus menjadi lambang orang yang dihormati. Salah satu kompleks menhir yang terkenal terdapat di Bori Kalimbuang, Toraja, Sulawesi Selatan.
Di kawasan ini terdaat 102 buah menhir berbagai ukuran. Bori’Kalimbuang adalah objek wisata yang terletak di sebelah utara kota Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Objek wisata utamanya adalah Rante Kalimbuang yang merupakan tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan menhir alias megalit. Dalam bahasa Toraja disebut Simbuan Datu. Ada 102 batu menhir di sini, terdiri dari 24 batu berukuran besar, 24 ukuran sedang dan 54 kecil. Setiap simbuang batu dibuat saat upacara penguburan tingkat tertentu dilaksanakan bagi seorang pemuka masyarakat, yaitu pada tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor). Besar kecilnya ukuran batu menhir ini tidak menjadi masalah karena secara adat mereka memiliki nilai kepercayaan dan prestise yang sama.
Arca-arca menhir ini digambarkan dalam bentuk yang sederhana dan umumnya berbentuk kepala sampai badan, dengan kaki atau tanpa adanya kaki, kadang-kadang juga tanpa tangan. Badan, biasanya digambarkan dengan bentuk bulat, tangan dipahat sangat sederhana menuju kemaluannya. Dengan ciri khas hidung pesek dan besar. Mata digambarkan bulat, lonjong , maupun oval yang kadang penggambarannya melotot. Mulut tidak digambarkan, alis melengkung tebal, telinga kadang-kadang tidak ada, dan pada bagian dahinya kadang terlihat seperti ada tali kepala (tali bonto), dan ciri khas lain adalah penggambaran kemlauannya yang sangat menonjol.
3.      Kalamba
Kalamba ini banyak ditemukan di daerah Sulawesi tepatnya lagi pada bagian Sulawesi Tengah. Kalamba sering disebut dengan batu tong atau berbentuk wadah (stone vats) dan tutup dari kalamba disebut tuatena. Kalamba ini merupakan bongkahan batu besar yang sengaja dibentuk meneyerupai tong dan memiliki lubang yang cukup dalam dan berfungsi sebagai wadah kubur bagi masyarakat Sulawesi dan terkhususnya masyarakat Sulawesi Tengah. Wadah kalamba juga mempunyai ukuran yang bervariasi, diantaranya:
·         Garis tengah sekitar 270cm dan tinggi 142cm.
·         Garis tengah sekitar 216cm dan tinggi 180cm.
·         Garis tengah 187cm dengan tinggi 470cm.
Dari ketiga jenis kalamba tadi banyak ditemukan di Situs Pokekea yang ada di Sulawesi Tengah. Hiasan hiasan yang berada di dalam Kalamba ini tidak hanya bersifat keindahan saja, namun juga lebih bersifat magis (unsur kepercayaan) Seperti yang pernah diungkapkan oleh Sukendar (1987: 65) menyatakan bahwa bangunan kalamba yang relief-reliefnya dipahat di pinggir kalamba maupun di dalam kalamba ini tidak hanya mementingkan unsur keindahan, religius magis merupakan tujuan yang paling utama. Kalamba beserta tutupnya ini terbuat dari bahan batuan jenis mollase (batua berpasir).
4.      Lumpang Batu
Lumpang batu merupakan batu yang permukaannya datar dan di bagian tengahnya dipahat hingga berbentuk lubang dan berfungsi sebagai tempat penumbuk biji-bijian yang ingin dihaluskan atau dikupas. Lubang lumpang batu ini biasanya bulat rata-rata dengan garis tengahnya antara 25-50cm. Lumpang batu ini sering disebut stone mortars dalam bahasa inggrisnya. Menurut W.J. Perry (1938) dalam bukunya Megalithic Finds in Central Celebes mengatakan bahwa lumpang batu di daerah Sulawesi khususnya Sulawesi Tengah ini berfungsi untuk menumbuk biji-bijian, misalnya jagung atau padi.
5.      Tumulus
Tumulus ini merupakan gundukan tanah yang biasanya berdiameter 480 cm-870 cm dengan tinggi 40 cm-50 cm. Dalam tumulus ini sering ditemukan dolmen yang fungsinya sebagai wadah kubur.
6.      Kubur punden
Kubur punden ini hanya terdiri berupa tanah datar yang dibatasi oleh nisan yang diperkirakan terletak dibagian kepala dan kaki dari jenazah yang salah satu batu nisannya tadi menjadi temapt menaruh sesaji. Biasanya ukuran dari kubur punden 200 cm dan jarak antara kubur punden 1 dan 2 berkisar 360 cm.
7.      Kelompok tiang batu berstruktur
Kelompok batu berstruktur ini berupa tiang batu atau batu tegak atau juga batu datar yang mempunyai pola susunan segi empat atau persegi yang berfungsi sebagai landasan tiang suatu bangunan.

DAFTAR RUJUKAN
Suprapta, B. 1991. Ikhtisar Prasejarah Indonesia: Pendekatan Model Konsepsi Teknologi.
            Laboratorium Sejarah FPIPS IKIP MALANG. Malang.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius. Jogjakarta.
Kartodirdjo, S dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Departemen Pendidikan dan
            kebudayaan. Jakarta.
Soejono. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah. Balai Pustaka. Jakarta.

Kebudayaan Megalitik

Kebudayaan Megalitik
Kebudayaan Megalitik merupakan kebudayaan yang awal kemunculannya berada antara zaman neolitik akhir dan awal perkembangan zaman logam (perundagian). Pengertian dari megalitik sendiri adalah “mega” yang berarti besar, dan “lithik atau lithos” yang berarti batu jadi kalu dirangakaikan berarti sebuah zaman yang menghasilkan kebudayaan atau bangunan yang  umumnya terbuat dari batu-batu besar. Kebudayaan megalitik ini sering diartikan sebagai hasil kebudayaan zaman megalitik yang sebagian besarberorientasi kepada unsur-unsur kepercayaan. Namun, ada suatu sanggahan dari seorang tokoh yang menyatakan tidak hanya batu besar saja yang melambangkan kepercayaan, batu kecilpun juga bisa. Seorang tokoh Fris A. Wagner (1959: 23-25) menyatakan bahwa “megalitik yang diartikan sebagai batu besar akan dapat menimbulkan pengertian keliru, karena objek-objek yang berasal dari batu yang lebih kecilpun dapat dimaksudkan ke dalam klasifikasi megalitik, apabila objek-objek tersebut jelas dibuat dengan tujuan sakral yaitu ada unsur pemujaan terhadap leluhur atau neneak moyang”.
Batu-batu di kebudayaan megalitik ini biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. Di Indonesia sampai saat ini masih terdapat kebudayaan megalitik yang masih hidup seperti di Nias, Sumba, Flores. Kebudayaan megalitikum juga terdapat di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Di Sumatra terletak di dataran tinggi Pasemah. Kebudayaan megalitik yang ditemukan adalah sekumpulan besar arca-arca, menhir, dolmen, dll. Di Jawa terdapat di daerah Besuki. Peninggalannya berupa pandhusa yaitu dolmen yang dibawahnya berisi kubur batu. Di Wonosari, Cepu, Cirebon ditemukan kubur-kubur batu sedangkan di Bali ditemukan sarchofagus. Di dalam kubur batu dan sarkopagus tersebut ditemukan tulang-tulang manusia bersama dengan bekal kubur seperti nekara, keramik, perhiasan, manik-manik dll (Soekmono 1973: 72-75).
Tradisi pendirian bangunan megalitik selalu berdasarkan kepercayaan tentang adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh yang kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Bangunan megalitik tesebar luas di Asia Tenggara. Tradisi pendirian bangunan megalitik sekarang sebagian  telah musnah dan ada yang masih berlangsung.

Zaman megalitik dibagi menjadi 2 yaitu:
1.      Megalitik Tua
Megalitik tua berlangsung pada masa Neolitik. Megalitik tua ini muncul kurang lebih tahun  2500-1500 sebelum masehi. Alat yang dihasilkan adalah beliung persegi dan mulai membuat benda-benda atau bangunan yang disusun dari batu besar seperti dolmen, undak batu, limas, tembok batudan jalan batu.
2.      Megalitik Muda
Megalitik muda berlangsung pada masa Perundagian. Megalitik muda ini bertanggalkan tahun ribuan pertama setelah masehi. Alat yang dihasilkan adalah kubur batu, dolmen, sarkofagus, dan bajana batu.
Kebudayaan megalitik ditandai dengan berbagai hal, diantaranya:
·         Adanya konsepsi kepercayaan tentang kehidupan sesudah mati dan pemujaan tehadap roh.
·         Banyak dihasilkan benda-benda atau peralatan berbau megalitik sebagai bekal kubur, diantaranya dolmen, sarkofagus, waruga dan lain-lain.
·         Adanya konsep tentang kekuatan sakti akan roh atau arwah nenek moyang.
·         Sudah mengenal upacara penguburan yang sakral yang bersifat kompleks dan adanya hubungan antara manusia di dunia yang masih hidup dan arwah leluhur mereka yang mempercayai bahwa ketika nanti bisa turun dan menolong serta memberikan keberkahan dalam kehidupan.
·         Adanya sikap menghoramati kepada tokoh-tokoh yang dipuja dan roh-roh agar mereka bisa meminta bantuan atau pertolongan jikalau susah atau sulit dalam menjalani kehidupan.
·         Munculnya sikap tunduk dan rasa hormat terhadap roh nenk moyang dengan mengaplikasikannya dalam pendirian objek-objek atau sarana dalam melakukan pemujaan.
·         Munculnya suatu sikap percaya bahwa kehidupan roh nenek moyang disana juga terdapat sebuah kehidupan yang juga memerlukan berbagai peralatan-peralatan bagi kehidupan mereka disana.


DAFTAR RUJUKAN

Suprapta, B. 1991. Ikhtisar Prasejarah Indonesia: Pendekatan Model Konsepsi Teknologi.

            Laboratorium Sejarah FPIPS IKIP MALANG. Malang.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius. Jogjakarta.
Kartodirdjo, S dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Departemen Pendidikan dan
            kebudayaan. Jakarta.
Soejono. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah. Balai Pustaka. Jakarta.

Konsep Keagamaan yang Terkandung pada Arsitektur Masjid Demak Masa Kesultanan Demak


      Konsep Keagamaan yang Terkandung pada Arsitektur Masjid Demak Masa Kesultanan Demak.
Salah satu aspek kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan peri kehidupan bangsa Indonesia adalah arsitektur.  Arsitektur adalah salah satu segi dari kebudayaan yang menyentuh segi kemanusiaan secara langsung, yang dengan sendirinya mengandung faktor pelaksanaan kehidupan manusia. Hal tersebut dapat berupa gambaran dari corak kehidupan masyarakat dengan segala kelengkapannya seperti masa kehidupannya, pembentukan kebudayaan, serta bagaimana kehidupan tersebut direalisasikannya ke dalam bentuk fisik bangunan, karya seni dan bentuk kepercayaannya (Rochym, 1983: 1-2). Kehidupan manusia sangat erat hubungannya dengan  arsitektur. Karena arsitektur itu merupakan segi kebudayaan manusia yang berpengaruh pada kehidupan manusia itu sendiri, dalam arsitektur itu sendiri dapat membantu manusia dalam bidang pembangunan.
Arsitektur merupakan titik tumpu dari hasil usaha orang-orang yang melahirkannya, serta merupakan suatu konsepsi yang sesuai dengan keadaan, tingkat kecakapan serta penghayatan masyarakat terhadap arsitektur tersebut pada suatu saat tertentu. Sebagai penampilan yang berwujud (konkrit), arsitektur sangat erat kaitannya dengan aktivitas rokhaniahnya. Antara lain erat kaitannya dengan seni sebagai perwujudan aktivitas rokhaniah dari kehidupan manusia. Bersama-sama dengan seni rupa, seni suara, seni sastra, seni pahat, seni ukir dan lain-lainnya arsitektur telah melahirkan kepuasan yang maksimal sebab telah dapat menjadi wadah untuk menyalurkan perasaan manusia yang membuatnya, meskipun tentunya bukan itu saja satu-satunya tujuan dari penampilan arsitektur tersebut (Rochym, 1983: 2). Sesuai apa yang dijelaskan di atas arsitektur mempunyai hubungan dengan rokhaniah dalam kehidupan manusia. Di dalam arsitektur banyak terkandung karya seni. Sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur juga merupakan bagian dari seni.
Banyak lagi sasaran yang berkaitan dengan perwujudan arsitektur tersebut, sebab pada hakekatnya arsitektur dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. dengan demikian arsitektur akan senantiasa berhubungan dengan masalah-masalah adat kebiasaan, mengikuti pola kehidupan, yang disertai dengan keterampilan untuk mewujudkannya (Rochym, 1983: 2). Dalam hal tersebut arsitektur juga ada batasan-batasannya, karena dalam kehidupan manusia banyak masalah-masalah yang menyangkut adat istiadat, dan arsitektur juga harus mengikuti pola kehidupan manusia itu sendiri.
Serupa dengan halnya seniman memahat patung orang yang menampilkan arsitektur senantiasa akan bersentuhan dengan masalah bentuk, komposisi, proporsi, harmoni, keseimbangan, proporsi, harmoni, keseimbangan (bellance), yang semuanya merupakan unsur-unsur seni yang menuntut orang yang melihatnya ke arah perasaan estetika. Rasa keindahan yang berhubungan dengan emosi dan rokhani manusia. Apabila itu adalah seni lukis, maka tentunya warna dan nada yang disebabkan oleh ketajaman dan keredupan cahaya, juga akan merupakan unsur yang amat penting (Rochym, 1983: 2). Dalam unsur seni lukis dan seni pahat itu adalah unsur yang palling dominan dalam pembuatan arsitektur bangunan. Sehingga seni pahat dan seni lukis memiliki nilai yang besar untuk suatu arsitektur pembangunan.
Kelebihan yang terdapat pada arsitektur apabila dibandingkan dengan seni pahat dan seni lukis itu ialah karena pada arsitektur harus ditambahkan faktor kegunaan yang menyertainya secara relevan dengan penampilannya sebagai keperluan untuk memenuhi kebutuhan manusia. dalam perkembangan selanjutnya maka kegunaan itu erat pula kaitannya dengan masalah ruang yang sekaligus merupakan faktor yang dipikirkan dalam pembuatan arsitektur. Itulah perbedaan yang nyata dari kedua karya seni tersebut dalam kesamaannya sebagai wadah untuk menyalurkan kepuasan rokhaniahnya. Nilai kepuasan yang ditimbulkan oleh kesan keindahan dari kedua karya seni tersebut memang dapat dirasakan, sukar dianalisa tetapi dapat dinyatakan kehadirannya melalui realisasinya. (Bangunan, Patung-patung, seni ukir, seni hias, dan sebagainya) (Rochym, 1983: 2-3). Itulah secara garis besar kelebihan dan kekurangan pada arsitektur.
Tinjauan secara umum tentang masjid dalam karya arsitektur Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki ciri tersendiri tentang pembangunan arsitektur masjid. Perkembangan pembangunan di Indonesia dalam hal arsitektur masjid sangatlah banyak. Semua itu disebabkan salah satunya adalah wilayah geografis Indonesia. Sehingga pembangunan arsitektur masjid di Indonesia menyesuaikan dengan keadaannya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang menyebabkan letaknya yang berjauhan antara satu daerah dengan daerah lainnya, yang terpencar diseluruh Nusantara. Akibat dari berjauhannya dari daerah-daerah itu, maka timbullah perbedaan jenjang penampilan arsitektur dari daerah-daerah itu, karena lingkungan serta adat-istiadat yang berbeda pula. Faktor komunikasi yang menentukan kedudukan dari suatu daerah pun yang menyebabkan perbedaan yang serupa, sehingga menyebabkan satu daerah tertentu akan lebih cepat merubah kebiasaan lamanya, sedangkan daerah lainnya mengalami perubahan yang lamban dan ada pada tingkatannya yang awal (Rochym, 1983: 37). Letak geografis di Indonesia sangatlah mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Hal ini yang menimbulkan kebiasaan menetap sehingga merupakan titik tolak adanya corak khas yang tradisional sifatnya.
Masjid Demak memiliki arsitektur yang sangat unik, dan arsitektur ini memiliki cerita yang unik pula. Keunikan yang pertama terletak pada ke empat soko guru,ke empat soko guru tersebut memiliki keunikan masing-masing,dan ke empat soko guru tersebut di buat oleh empat wali, yaitu Sunan Kalijaga yang membuat soko guru bagian timur laut, Sunan Bonang membuat soko guru bagian barat-laut, Sunan Ampel membuat soko guru bagian tenggara, sedangkan Sunan Jati membuat soko huru bagian barat-daya.
Saat pendirian soko guru ada cerita yang sangat unik,ceritanya seperti ini. Setelah ke tiga soko guru tersebut sedah terkumpul dan siap untuk didirikan, ternyata soko guru  milik Sunan Kalijaga belumlah siap,karena Sunan Kalijaga lupa akan kewajibannya membuat soko guru untuk Masjid Demak. Setelah beliau teringan akan kewajibannya tersebut maka segeralah beliau mengumpulkan potongan kayu kecil-kecil dan diikat menggunankan rumput rawadan hingga menyerupai soko guru.Dan Soko guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga sering disebut dengan soko tatal,sebutan ini karena, bahan dari soko ini berasal dari kepingan-kepingan kayu kecil yang dikumpulkan dan di ikat hingga berbentuk seperti soko guru. Walau terbuat dari potongan-potongan kayu kecil yang dikumpulkan menjadi satu dan di ikat, soko tersebut sangatlah kokoh dan kuat dan menjulang tinggi sampai ke atap.
Soko guru buatan Sunan Kalijaga tersebut memiliki panjang 32 m dengan jari-jari 1,45 m. Sekarang soko guru tersebut masih dapat dilihat di Masjid Demak. Soko guru tersebut kini di ikat menggunakan kawat agar bentuknya sama dengan soko-soko guru yang lain. Dibagian serambi masjid terdapat pula tiang-tiang sebanyak delapan buah. Soko-soko tersebut menurut cerita berasal dari Raja Majapahit, yaitu Prabu Browijoyo ke-V, yang merupakan ayah dari Raden Patah, Sultan Demak ke-I. Tiang-tiang ini memiliki arsitektur berupa ukiran-ukiran yang bermotif Hindu.
Selain terdapat soko guru yang unik dan ukiran dengan coraki Hindu, terdapat pula perhiasan-perhiasan di masjid demak tersebut terutama yang muerupakan ukir-ukiran. Ukiran-ukiaran tersebut di dapat dari sumbangan-sumbanga orang-orang Jawa yang dulu sudah memeluk agama Islam. Jumlah lukisan-lukisan tersebut ada 65 buah, yang sekarang lima buah  lukisan tersebut di tempelkan di dalam masjid sedangkan 60 buah ditempel diluar masjid dan sumbangan lainnya diletakkan di luar masjid yang berupa tiga buah gentong dudo, dua buah diletakkan di selatan dan utara kolam dan satunya lagi di letakkan di dalam makam Sultan di sampung masjid.
Terdapat pula mimbar yang ada dulu du dapat dari Sultan Demak ke-I, mimbar itu dahulu merupakan damparnya Sultan Demak. Pada pintu makam Sultan Demak terdapat arsitektur lukisan yang khas, yaitu lukisan yang dinamakan Kepala Dua Petir. Lukisan tersebut dulu dibuat oleh Ki Ageng Solo.
Masjid ini juga memiliki keistimewaan, berupa arsitektur khas Jawa. Masjid ini  menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas  ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan  bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna,  yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya yaitu : iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini juga memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain, yang memiliki  makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini juga memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya  kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari  kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Ada pula maksurah yang merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat. Didalam Masjid Demak tersebut terdapat pula beberapa makam raja-raja kesultanan Demak dan juga para abdinya. Disanan juga terdapat museum yang berisi berbagai hal tentang riwayat berdirinya Masjid Demak.
Di masjid ini, terdapat tiga arah pintu masuk ke dalam bangunan utama masjid. Sedangkan pintu di tengah, langsung mengantarkan ke serambi masjid. Serambi masjid ini seluas 31×15 meter dan berlantaikan teraso berukuran 30×30 sentimeter yang sering disebut sebagai ‘Serambi Majapahit’. Disebut serambi Majapahit karena serambi ini memiliki delapan tiang penyangga bergaya Majapahit dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit.  Bangunan serambi ini merupakan bangunan tambahan yang dibangun pada masa Adipati Unus atau yang terkenal dengan sebutan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor saat menjadi sultan Demak kedua pada tahun 1520. Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan menghadap ke arah kiblat. Di dalam ruang utama masjid, juga terdapat  pawestren atau ruangan untuk shalat bagi wanita, dengan luas 15×17,30 meter yang terletak di sisi selatan masjid. Ruang shalat wanita ini dibangun pada 1866 ketika KRMA Arya Purbaningrat menjadi adipati Demak. Atapnya berbentuk limas, disangga delapan pilar bergaya Majapahit. Masih ada napas akulturasi pada bagian interior masjid. Perubahan dari tata cara berserah kepada sang pencipta agama Hindu di ruang terbuka ke dalam masjid memunculkan ide untuk membuat interior masjid menjadi lebih luas. Kesan luas ini bisa disaksikan pada bagian ruang utama masjid yang berukuran 25×26 meter yang mampu menampung lebih dari 500 jamaah ini. Di sebelah kanan ruangan utama, terdapat ruang khalwat atau ruang perenungan berukuran 2×2,5 meter ini dulunya dipakai para penguasa Kesultanan Demak untuk memohon petunjuk Allah SWT. Hampir seluruh ruangan ini dipenuhi ukiran model Majapahit. Pada salah satu sudutnya terdapat relief aksara Arab yang memuliakan kebesaran Allah SWT. Sementara itu, di luar bangunan utama, di kompleks masjid Agung Demak juga terdapat beberapa bangunan pendukung. Di kompleks masjid, terdapat 60 pusara makam pejuang Muslim Demak dan para pengikutnya. Antara lain, para sultan Demak, seperti Raden Patah, Pati Unus, dan Sultan Trenggono.

DAFTAR RUJUKAN

Purwadi & Maharsi. 2005. Babad Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.

Akulturasi budaya Hindu-Budha yang Mempengaruhi Bangunan Masjid Demak


         Akulturasi budaya Hindu-Budha yang mempengaruhi bangunan Masjid Demak
Masjid Demak merupakan Masjid yang banyak mengandung akulturasi dari Hindu Budha yang sangat kental. Sebelum penulis menjelaskan tentang akulturasi Hindu-Budha pada Masjid Demak. Penulis terlebih dahulu akan menjelaskan tentang akulturasi secara umum.
Proses akulturasi terjadi suatu unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat yang satu berhadapan dengan unsur kebudayaan itu terserap ke dalam kebudayaan penerima tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan sendiri (Dewabrata, 2009: 9). Proses tersebut adalah proses dimana percampuran antara dua budaya yang berbeda tetapi tidak perlu menghilangkan budaya yang asli.
Syarat lain terbentuknya akulturasi adalah adanya keseragaman (homogehity), seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya. Kemudian syarat fungsi, seperti nilai baru yang diserap hanya sebagai suatu manfaat yang tidak penting atau hanya sekedar tampilan, sehingga proses akulturasi dapat berlangsung dengan cepat. Dengan demikian suatu nilai yang tepat fungsi dan bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan akan memiliki daya tahan yang lama (Sachari, 2007: 30). Dalam garis besar tidak semua isi dari kebudayaan tersebut dapat tercampur karena tidak semua kebudayaan bisa menerima kebudayaan yang lainnya. Meskipun bisa, proses akulturasi sangat lama sedangkan daya tahannya relatif rendah.
Dalam proses akulturasi diperlukan juga adanya “seleksi”, yaitu bahwa proses akulturasi akan berjalan secara baik jika kebudayaan yang datang “dipilih” dengan pertimbangan yang matang. Hal itu dilakukan agar kita dapat menyeleksi “donor” budaya yang sesuai dengan kebutuhan, baik secara subjektif maupun secara objektif. Akulturasi merupakan proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi, antara isolasi dan Absorbsi, Akulturasi merupakan proses jalan tengah antara masa lampau dan masa depan. Jika dua pihak bertemu dalam sikap konfrontasi, akan muncul konflik, dan jika keseimbangan tercapai tanpa perselisihan, suasana koeksistensi akan tercipta (Sachari, 2007: 30). Dalam akulturasi pastinya ada yang dilamakan seleksi, seleksi yang dimaksud tersebut adalah penyeleksian untuk memilih atau menyaring sebuah budaya yang masuk, sehingga dapat di terima dan dianggap oleh masyarakat dengan baik. Juga berfungsi untuk meminimalisir adanya konflik karena perbedaan budaya yang dimiliki.
Memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru pada arsitektur Islam, sudah menandakan adanya akulturasi di dalam arsitektur Islam, khususnya di pulau jawa. Pada awal perkembangan agama Islam di pulau jawa pastinya mengalami proses selektif tanpa adanya kekerasan. Sehingga sebagian nilai-nilai lama masih terkandung dalam budaya yang baru. Ajaran Islam yang masuk tanpa adanya kekerasan dan juga unsur-unsur  kebudayaan lama yang masih ada bersifat terbuka. Karena itulah arsitektur Islam mengalami akulturasi dengan budaya lama, khususnya arsitektur pada masjid-masjid di Indonesia.
Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat daerah-daerah yang secara relatif lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan karena terutama disebabkan oleh faktor komunikasi yang memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi daerah. Demikian pula terjadinya pengaruh Hindu yang terutama pada awal perkembangannya yang terjadi di daerah-daerah yang ada pada jalur-jalur perdagangan seperti daerah yang dekat ke pantai, biasanya lebih dahulu menerima pengaruh Hindu tersebut (Rochym,1983: 109). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab perbedaan-perbedaan bentuk masjid di seluruh Nusantara.
Faktor sejarah, latar belakang, faktor lingkungan serta adat istiadat atau kebudayaan masyarakat setempat sangatlah mempengaruhi terjadinya akulturasi di Indonesia, contoh dari akulturasi masjid di Indonesia yaitu pada Masjid Demak. Akulturasi yang terdapat di Masjid Demak sangatlah banyak, salah satu contohnya adalah akulturasi budaya Hindu-Budha yang mempengaruhi bangunan Masjid Demak. Di dalam Masjid Demak itu sendiri terdapat budaya Hindu-Budha yang sangat kental. Menurut legenda sebelum membangun Masjid Demak, Sunan Kalijaga berdiri di tengah-tengah lahan tempat masjid akan didirikan sambil merentangkan tangan kemudian tangan kirinya tertuju kearah bumi dan tangan kanannya tertuju ke arah kiblat.Sikap ini dilakukannya dengan maksud bahwa dalam berarsitektur orang harus memperhatikan kaidah–kaidah atau nilai–nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah-kaidah baru yang akan dimasukkan. Kaidah–kaidah inilah harus dipadukan dengan baik dalam karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya . Pertimbangan memadukan unsur-unsur Budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam, sudah menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi pada awal perkembangan agama Islam di Jawa, dilakukan dengan proses, selektif tanpa kekerasan, sehingga sebagian nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan. Kaidah Islam dalam membuat masjid adalah arah kiblat, tempat Imam (Maihrab), tempat Jemaah, tempat ber–wudhu adanya pemisahan ruang antara pria dan wanita. Sedangkan adanya bentuk meru, pendopo (Mandapa), dan gerbang merupakan kaidah-kaidah dalam Hindu. Kemudian kesan mengayomi, adanya serambi dan kentongan merupakan kaidah– kaidah asli dari bumi Nusantara. Kaidah–kaidah itu semua mempunyai jiwa dan kesan tersendiri dan tidak bisa diubah. Tetapi dengan mengubah beberapa unsur berdasarkan kaidah–kaidah Islam dan memadukannya dengan kaidah-kaidah yang sudah ada dan memiliki kesamaan makna, akhirnya dapat dihasilkan suatu karya yang merangkum kaidah–kaidah tersebut . Hal ini yang menyebabkan terwujudnya bentuk baru tanpa menentang kaidah–kaidah yang sudah ada sebelumnya, sehingga rangkuman kaidah– kaidah tersebut dapat berfungsi lebih baik bagi masyarakat yang menganut agama Islam.  Jadi akulturasi dalam arsitektur Islam pada walam perkembangannya di Jawa, diperkenakan oleh ‘’wali’’ ( waliyullah sebagai orang yang dianggap dekat dengan Tuhan (Allah) dan diyakini memiliki berbagai kelebihan. Karena itulah para wali sangat dihormati dan disegani karena selain bertugas mengajarkan agama Islam, beliau juga masih menghormati kebudayaan yang berkembang sebelum masuknya agama Islam.
Bangunan ini berdiri di atas lokasi sekitar alun-alun kota Demak, seperti layaknya masjid-masjid Agung yang dibuat di saat raja-raja Islam sedang berkuasa. Penonjolan pertama pada masjid ini ialah terletak pada bentuknya yang menunjukkan adanya perbauran dengan unsur Hindu pada saat itu, yang kemudian menunjukkan kecondongan bentuknya pada bangunan candi (Rochym,1983: 109).
Pernyataan di atas membuktikan benar bahwa Masjid Demak memiliki budaya Hindu-Budha, dapat di pastikan pengaruh pada saat masa Kesultanan Demak, Hindu-Budha banyak pengaruhnya dalam pembuatan bangunan. Masjid Demak memiliki bentuk atap yang tumpang tindih seperti punden berundak, dan pada atap yang tumpang tindih itu ganjil sama seperti budaya Hindu pada pembuatan pura atau candi yang berjumlah 3-11. Pada akulturasi arsitektur Islam juga harus memperhatikan kaidah atau nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah baru yang dimasukkan. Pada masa tersebut sudah ada kaidah Hindu dan Budha yang sudah menjadi kaidah yang ada di Indonesia. Sedangkan kaidah Islam merupakan kaidah yang masih baru yang akan dimasukkan, kaidah-kaidah tersebut yang akan dipadukan dengan baik dan tidak memaksa dalam karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya.
Dari motif-motif hias yang terdapat pada tiang-tiangnya, tampak adanya hubungan dengan budaya Majapahit (Rochym,1983: 109).dalam motif-motif tersebut mempunyai hubungan dengan Majapahit, sedangkan Majapahit merupakan kerajaan yang menganut Hindu-Budha. Secara langsung Masjid Demak mengandung budaya Hindu-Budha pada motif tiangnya. di dalam motif tersebut terkandung arsitektur yang sangat indah, dengan gaya pengukiran. Gaya pengukiran pada tiang itu adalah budaya yang ada pada Hindu Budha itulah mengapa taing tersebut masuk dalam budaya Indonesia pada saat itu.
Arsitektur Masjid Agung Demak dipengaruhi oleh arsitektur jawa kuno. Pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipengaruhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut adalah atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalisasi dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi (Yulianingsih, 2010: 194).
Bagian-bagian tersebut merupakan salah satu contoh dari akulturasi Islam dengan Budaya Hindu-Budha. Pada atap yang diberi nama atap meru, ruang keramat dan tiang guru yang melingkup ruang cela. Ini merupakan ciri khas dari bangunan-bangunan suci pada masa kerajaan jawa kuno. Di dalam masjid Demak juga terdapat prasasti yang bergambar bulus, prasasti juga merupakan karya seni pada Hindu-Budha. Masjid Demak juga ada Pintu bledheg. Pintu tersebut mengandung karya arsitektur yang sangat bain dan gaya ukir pada pintu Bledheg tersebut memiliki unsur Hindu-Budha di dalamnya. Karena pola-pola ukir yang ada pada pintu tersebut adalah pola ukir yang dimiliki kebudayaan Hindu-Budha pada saat itu.

DAFTAR RUJUKAN

Purwadi & Maharsi. 2005. Babad Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.




Sejarah Pembangunan Masjid Demak Di Kesultanan Demak


  Sejarah Pembangunan Masjid  Demak Di Kesultanan Demak
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat mempercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajar ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro (Yulianingsih, 2010: 194). Sehingga dapat diketahui oleh kita bahwa pembangunan masjid Demak itu didirikan oleh Wali Songo. Dapat di pastikan bahwa Wali Songo memiliki peran penting dalam pembuatan masjid Demak pada saat itu. Sebelum membangun masjid Demak pastinya memiliki latar belakang mengapa masjid demak dibangun?. Dan tahapan-tahapan sebelum masjid tersebut di dirikan.
Pada pertengahan abad ke-15 demikian kata sejarah masjid Demak tatkala penduduk di Jawa belum banyak yang menganut agama Islam dan kebanyakannya adalah pengikut-pengikut agama Budha, maka oleh mubalik Islam yaitu para Wali yang sembilan itu di pikirkan mengadakan tempat yang tetap untuk penyiaran dan penerangan agama. Pada waktu itu surau dan langgar belum terdapat di Jawa (Aboebakar, 1955: 163). Para Wali yang kesembilan itu memikirkan jalan keluar bagaimana cara menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Sedangkan masyarakat Jawa pada saat itu kebanyakan menganut agama Hindu-Budha.
Pada suatu hari para Wali itu berkumpul membicarakan soal-soal di sekitar penyiaran Islam dan dalam permusyawaratan itu telah di putuskan akan mendirikan masjid di Gelagah Wangi (Demak), termasuk wilayah Jawa Tengah (Aboebakar, 1955: 163). Setelah para Wali ke sembilan itu memikirkan, mereka berencana untuk membangun sebuah Masjid yang berfungsi untuk menyiarkan agama Islam di Gelagah Wangi dan Masjid tersebut dinamakan Masjid Demak.
Bangunan masjid itu didirikan oleh para Wali bersama-sama dalam waktu satu malam. Atap tengahnya di topang seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya tidak terbuat dari satu batang kayu utuh melaikan dari beberapa balok yang diikat menjadi satu. Tiang tersebut adalah sumbangan kanjeng Sunan Kalijaga. Rupanya tiang itu di susun dari potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan Wali-wali lainnya, pada malam pembuatan bangunan itu ia datang terlambat, oleh karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh (Purwadi & Maharsi, 2005: 39).
Dalam kutipan tersebut menyatakan bahwa Masjid Demak di bangun oleh para Wali bersama-sama dalam waktu satu malam yaitu malam Jumat legi dalam tahun 1428. Konon kisahnya mengapa Masjid Demak dibangun pada malam hari karena supaya orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui hal tersebut, oleh karena itu pembangunan Masjid Demak dirahasiakan.
Disebutkan bahwa ada empat orang wali-wali itu yang membuat empat buah tiang pokok, soko guru namanya, yang berdiri sejak dari tanah sampai ke puncak masjid, wali-wali ini ialah Sunan Kalijaga, yang membuat soko guru sebelah timur laut, Sunan Bonang yang membuat soko guru sebelah barat-laut, Sunan Ampel yang membuat soko guru sebelah tenggara dan Sunan Gunung Jati yang membuat soko guru sebelah barat-daya. Soko guru yang dibuat oleh Sunan Kalijago terkenal di Demak dengan nama soko tatal, karena dia terjadi dari kepingan-kepingan kayu kecil yang diikat-ikat hingga menjadi suatu tiang besar dan kuat yang menjulang panjang sampai ke atap (Aboebakar, 1955: 163).
Dalam mendirikan tiang-tiang Masjid Demak tersebut sudah jelas bahwa ada empat wali yang memiliki tagas-tugas tersendiri. Diantara empat tiang itu yang paling terkenal ialah tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga yang berbentu dari kumbulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang diikat menjadi satu sampai menjadi tiang yang besar dan panjang. Tiang milik Sunan Kalijaga terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu kecil karena pada saat itu Sunan Kalijaga lupa akan tugasnya di saat itu pula Sunan Kalijaga lupa tidak menyediakan Batang kayu untuk membuat tiang Masjid, maka Sunan Kalijaga mengumpulkan kepingan-kepingan dan potongan-potongan kayu kecil dan diikat hingga menjadi tiang yang besar dan kuat.
Soko-soko guru tersebut panjangnya 32 m dan besar garis menengahnya 1,45 m. Sekarang soko tatal tersebut, yang tatal aslinya dapat dilihat dengan jelas dari atas masjid, sudah di palut dan diberi berbingkai kawat supaya sama bentuknya dengan tiang-tiang yang lain (Aboebakar, 1955: 163). Sangat besar untuk sebuah tiang masjid yang terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang disatukan. Meskipun sekarang sudah direnovasi dan bentuknya tidak sama dengan aslinya, namun di bagian atas masjid masih terdapat tiang yang masih asli.
Masjid ini di dirikan di atas lantai batu merah, berwarna sedikit keputih-putihan, yang masing-masing tidak lebih besar dari 40 x 20 cm dan tebalnya 15 cm (Aboebakar, 1955: 163). Bangunan Masjid Demak merupakan bangunan yang ada di atas lantai batu merah, batu merah tersebut juga berfungsi sebagai pondasi dari bangunan masjid itu.
Para wali-wali turut mengambil bagian dalam pembangunan masjid ini. Sultan Demak ke I, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Geseng, Sunan Temboja, Sunan Giri, Sunan Kudus dan Sunan Ampel. Sultan Demak ke I dan Sunan Kalijaga, ialah wali-wali yang mengambil minat dalam hal ini dan yang memimpin usaha yang mendirikan masjid itu. Dalam sejarah masjid Demak kabarnya dua wali ini lah yang lebih besar pengaruhnya dan keramatnya. Dengan secara perincian disebutkan dalam Babat Demak bagaimana wali-wali ini mengatur pembagian pekerjaannya, sehingga segala sesuatu dapat berjalan dengan baik dan segala kesukaran dapat disingkirkan dalam masa-masa permulaan Islam di tanah Jawa itu (Aboebakar, 1955: 163).
Sultan Demak ke I dan Suana Kalijaga memiliki peranan yang sangat penting sesuai bagaimana yang dijelaskan di atas. Dan dapat disebut juga kedua wali tersebut adalah pimpinan dalam pembangunan masjid Demak pada saat itu. Mereka mempunyai pemikiran yang sempurna bagaimana cara pembagian pekerjaan sehingga lancar seperti itu.
Sejarah Demak menceritakan seterusnya menceritakan sebuah cerita yang aneh, yaitu tatkala menentukan arah kiblat masjid tersebut. Para wali berselisihan paham, ada yang mengatakan kurang ke barat, ada yang mengatakan kurang ke utara, sehingga sedemikian terjadilah perdebatan yang ramai. Konon yang dapat menjelaskan perselisihan ini ialah Sunan Kalijaga, yang dengan keanehan kekeramatannya berdiri di tengah-tengah para wali itu dengan secara luar biasa dengan tangan kirinya konon ia memegang Masjid Demak dan tangan kanannya dilambaikan memegang Masjidil Haram di Mekkah dan dengan demikian ditentukan arah kiblat dan diperlihatkan kepada hadirin untuk menjadikannya. Setelah arah kiblat itu dianggap sah oleh para wali maka Sunan Kalijaga melepaskan pula kedua masjid yang dipegangnya itu (Aboebakar, 1955: 163).
Dalam cerita tersebut kita dapat memetik hal positifnya, yaitu pembangunan Masjid Demak tidak semudah yang dibayangkan. Pada saat itu pun masih belum ada peralatan-peralatan yang moderen, pembangunan tersebut masih sangat-sangat sederhana. Tetapi para Wali Songo tidak Berat hati untuk membangun Masjid tersebut karena semua itu untuk penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Mengenai soko serambi, yaitu tiang-tiang yang terdapat pada pendopo masjid, sebanyak delapan buah, menurut cerita berasal dari istana raja Majapahit, Prabu Brawijaya ke-V, ayah Raden Patah, Sultan Demak ke-I, yang diangkut sesudah peperangan Majapahit – Demak Bintoro, dan dijadikan bahan-bahan pendirian Masjid Demak (Aboebakar, 1955: 163). Dengan adanya soko serambi atau tiang-tiang bagian luar, menambah nilai keindahan pada bangunan Masjid Demak.
Bukti-bukti sejarah tersebut terdapat di Museum Masjid Agung Demak, bangunan masjid ini berdiri sekitar abad ke-15 Masehi. Hal ini dapat diketahui dari prasasti sekaligus petunjuk waktu Jawa (candrasengkala) yang terukir pada pintu utama yang ada di tengah masjid. Mengenai kapan masjid ini didirikan dapat dilihat di prasasti bergambar bulus (sejenis kura- kura). Hal ini sesuai dengan penanda waktu dengan arti  Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka yang terdapat dalam dinding mihrab bagian dalam. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka satu (1), kaki empat berarti angka empat (4), badan bulus yang bulat berarti angka nol (0), serta ekor bulus berarti angka satu (1). Dari petunjuk ini bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Namun, dalam prasasti itu yang tertulis di pintu utama terdapat kalimat  naga mulat salira wani artinya, dalam penanda waktu ini tertulis tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi atau tahun 887 Hijriyah. Petunjuk inilah yang akhirnya diyakini sebagai awal dibangunnya Masjid Agung Demak oleh para Wali Songo untuk mendukung penyebaran Islam di tanah Jawa. Sejak pertama kali didirikan, Masjid Agung Demak baru dipugar pertama kali oleh Raja Mataram Paku Buwono I, pada tahun 1710. Pemugaran ini dilakukan untuk mengganti atap sirap yang sudah lapuk. Perluasan besar-besaran untuk menjadi masjid agung diperkirakan berlangsung pada 1504-1507. Pada masa itu, penyebaran agama Islam makin meluas di wilayah Demak. Sementara itu, pembangunan menara azan baru dilakukan pada Agustus 1932. Bangunan menara dengan kubah bergaya Melayu ini berkonstruksi baja. Pembuatan menara azan ini konon menelan biaya 10 ribu gulden.

DAFTAR RUJUKAN

Purwadi & Maharsi. 2005. Babad Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.