Wednesday 17 October 2012

Konsep Keagamaan yang Terkandung pada Arsitektur Masjid Demak Masa Kesultanan Demak


      Konsep Keagamaan yang Terkandung pada Arsitektur Masjid Demak Masa Kesultanan Demak.
Salah satu aspek kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan peri kehidupan bangsa Indonesia adalah arsitektur.  Arsitektur adalah salah satu segi dari kebudayaan yang menyentuh segi kemanusiaan secara langsung, yang dengan sendirinya mengandung faktor pelaksanaan kehidupan manusia. Hal tersebut dapat berupa gambaran dari corak kehidupan masyarakat dengan segala kelengkapannya seperti masa kehidupannya, pembentukan kebudayaan, serta bagaimana kehidupan tersebut direalisasikannya ke dalam bentuk fisik bangunan, karya seni dan bentuk kepercayaannya (Rochym, 1983: 1-2). Kehidupan manusia sangat erat hubungannya dengan  arsitektur. Karena arsitektur itu merupakan segi kebudayaan manusia yang berpengaruh pada kehidupan manusia itu sendiri, dalam arsitektur itu sendiri dapat membantu manusia dalam bidang pembangunan.
Arsitektur merupakan titik tumpu dari hasil usaha orang-orang yang melahirkannya, serta merupakan suatu konsepsi yang sesuai dengan keadaan, tingkat kecakapan serta penghayatan masyarakat terhadap arsitektur tersebut pada suatu saat tertentu. Sebagai penampilan yang berwujud (konkrit), arsitektur sangat erat kaitannya dengan aktivitas rokhaniahnya. Antara lain erat kaitannya dengan seni sebagai perwujudan aktivitas rokhaniah dari kehidupan manusia. Bersama-sama dengan seni rupa, seni suara, seni sastra, seni pahat, seni ukir dan lain-lainnya arsitektur telah melahirkan kepuasan yang maksimal sebab telah dapat menjadi wadah untuk menyalurkan perasaan manusia yang membuatnya, meskipun tentunya bukan itu saja satu-satunya tujuan dari penampilan arsitektur tersebut (Rochym, 1983: 2). Sesuai apa yang dijelaskan di atas arsitektur mempunyai hubungan dengan rokhaniah dalam kehidupan manusia. Di dalam arsitektur banyak terkandung karya seni. Sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur juga merupakan bagian dari seni.
Banyak lagi sasaran yang berkaitan dengan perwujudan arsitektur tersebut, sebab pada hakekatnya arsitektur dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. dengan demikian arsitektur akan senantiasa berhubungan dengan masalah-masalah adat kebiasaan, mengikuti pola kehidupan, yang disertai dengan keterampilan untuk mewujudkannya (Rochym, 1983: 2). Dalam hal tersebut arsitektur juga ada batasan-batasannya, karena dalam kehidupan manusia banyak masalah-masalah yang menyangkut adat istiadat, dan arsitektur juga harus mengikuti pola kehidupan manusia itu sendiri.
Serupa dengan halnya seniman memahat patung orang yang menampilkan arsitektur senantiasa akan bersentuhan dengan masalah bentuk, komposisi, proporsi, harmoni, keseimbangan, proporsi, harmoni, keseimbangan (bellance), yang semuanya merupakan unsur-unsur seni yang menuntut orang yang melihatnya ke arah perasaan estetika. Rasa keindahan yang berhubungan dengan emosi dan rokhani manusia. Apabila itu adalah seni lukis, maka tentunya warna dan nada yang disebabkan oleh ketajaman dan keredupan cahaya, juga akan merupakan unsur yang amat penting (Rochym, 1983: 2). Dalam unsur seni lukis dan seni pahat itu adalah unsur yang palling dominan dalam pembuatan arsitektur bangunan. Sehingga seni pahat dan seni lukis memiliki nilai yang besar untuk suatu arsitektur pembangunan.
Kelebihan yang terdapat pada arsitektur apabila dibandingkan dengan seni pahat dan seni lukis itu ialah karena pada arsitektur harus ditambahkan faktor kegunaan yang menyertainya secara relevan dengan penampilannya sebagai keperluan untuk memenuhi kebutuhan manusia. dalam perkembangan selanjutnya maka kegunaan itu erat pula kaitannya dengan masalah ruang yang sekaligus merupakan faktor yang dipikirkan dalam pembuatan arsitektur. Itulah perbedaan yang nyata dari kedua karya seni tersebut dalam kesamaannya sebagai wadah untuk menyalurkan kepuasan rokhaniahnya. Nilai kepuasan yang ditimbulkan oleh kesan keindahan dari kedua karya seni tersebut memang dapat dirasakan, sukar dianalisa tetapi dapat dinyatakan kehadirannya melalui realisasinya. (Bangunan, Patung-patung, seni ukir, seni hias, dan sebagainya) (Rochym, 1983: 2-3). Itulah secara garis besar kelebihan dan kekurangan pada arsitektur.
Tinjauan secara umum tentang masjid dalam karya arsitektur Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki ciri tersendiri tentang pembangunan arsitektur masjid. Perkembangan pembangunan di Indonesia dalam hal arsitektur masjid sangatlah banyak. Semua itu disebabkan salah satunya adalah wilayah geografis Indonesia. Sehingga pembangunan arsitektur masjid di Indonesia menyesuaikan dengan keadaannya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang menyebabkan letaknya yang berjauhan antara satu daerah dengan daerah lainnya, yang terpencar diseluruh Nusantara. Akibat dari berjauhannya dari daerah-daerah itu, maka timbullah perbedaan jenjang penampilan arsitektur dari daerah-daerah itu, karena lingkungan serta adat-istiadat yang berbeda pula. Faktor komunikasi yang menentukan kedudukan dari suatu daerah pun yang menyebabkan perbedaan yang serupa, sehingga menyebabkan satu daerah tertentu akan lebih cepat merubah kebiasaan lamanya, sedangkan daerah lainnya mengalami perubahan yang lamban dan ada pada tingkatannya yang awal (Rochym, 1983: 37). Letak geografis di Indonesia sangatlah mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Hal ini yang menimbulkan kebiasaan menetap sehingga merupakan titik tolak adanya corak khas yang tradisional sifatnya.
Masjid Demak memiliki arsitektur yang sangat unik, dan arsitektur ini memiliki cerita yang unik pula. Keunikan yang pertama terletak pada ke empat soko guru,ke empat soko guru tersebut memiliki keunikan masing-masing,dan ke empat soko guru tersebut di buat oleh empat wali, yaitu Sunan Kalijaga yang membuat soko guru bagian timur laut, Sunan Bonang membuat soko guru bagian barat-laut, Sunan Ampel membuat soko guru bagian tenggara, sedangkan Sunan Jati membuat soko huru bagian barat-daya.
Saat pendirian soko guru ada cerita yang sangat unik,ceritanya seperti ini. Setelah ke tiga soko guru tersebut sedah terkumpul dan siap untuk didirikan, ternyata soko guru  milik Sunan Kalijaga belumlah siap,karena Sunan Kalijaga lupa akan kewajibannya membuat soko guru untuk Masjid Demak. Setelah beliau teringan akan kewajibannya tersebut maka segeralah beliau mengumpulkan potongan kayu kecil-kecil dan diikat menggunankan rumput rawadan hingga menyerupai soko guru.Dan Soko guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga sering disebut dengan soko tatal,sebutan ini karena, bahan dari soko ini berasal dari kepingan-kepingan kayu kecil yang dikumpulkan dan di ikat hingga berbentuk seperti soko guru. Walau terbuat dari potongan-potongan kayu kecil yang dikumpulkan menjadi satu dan di ikat, soko tersebut sangatlah kokoh dan kuat dan menjulang tinggi sampai ke atap.
Soko guru buatan Sunan Kalijaga tersebut memiliki panjang 32 m dengan jari-jari 1,45 m. Sekarang soko guru tersebut masih dapat dilihat di Masjid Demak. Soko guru tersebut kini di ikat menggunakan kawat agar bentuknya sama dengan soko-soko guru yang lain. Dibagian serambi masjid terdapat pula tiang-tiang sebanyak delapan buah. Soko-soko tersebut menurut cerita berasal dari Raja Majapahit, yaitu Prabu Browijoyo ke-V, yang merupakan ayah dari Raden Patah, Sultan Demak ke-I. Tiang-tiang ini memiliki arsitektur berupa ukiran-ukiran yang bermotif Hindu.
Selain terdapat soko guru yang unik dan ukiran dengan coraki Hindu, terdapat pula perhiasan-perhiasan di masjid demak tersebut terutama yang muerupakan ukir-ukiran. Ukiran-ukiaran tersebut di dapat dari sumbangan-sumbanga orang-orang Jawa yang dulu sudah memeluk agama Islam. Jumlah lukisan-lukisan tersebut ada 65 buah, yang sekarang lima buah  lukisan tersebut di tempelkan di dalam masjid sedangkan 60 buah ditempel diluar masjid dan sumbangan lainnya diletakkan di luar masjid yang berupa tiga buah gentong dudo, dua buah diletakkan di selatan dan utara kolam dan satunya lagi di letakkan di dalam makam Sultan di sampung masjid.
Terdapat pula mimbar yang ada dulu du dapat dari Sultan Demak ke-I, mimbar itu dahulu merupakan damparnya Sultan Demak. Pada pintu makam Sultan Demak terdapat arsitektur lukisan yang khas, yaitu lukisan yang dinamakan Kepala Dua Petir. Lukisan tersebut dulu dibuat oleh Ki Ageng Solo.
Masjid ini juga memiliki keistimewaan, berupa arsitektur khas Jawa. Masjid ini  menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas  ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan  bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna,  yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya yaitu : iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini juga memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain, yang memiliki  makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini juga memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya  kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari  kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Ada pula maksurah yang merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat. Didalam Masjid Demak tersebut terdapat pula beberapa makam raja-raja kesultanan Demak dan juga para abdinya. Disanan juga terdapat museum yang berisi berbagai hal tentang riwayat berdirinya Masjid Demak.
Di masjid ini, terdapat tiga arah pintu masuk ke dalam bangunan utama masjid. Sedangkan pintu di tengah, langsung mengantarkan ke serambi masjid. Serambi masjid ini seluas 31×15 meter dan berlantaikan teraso berukuran 30×30 sentimeter yang sering disebut sebagai ‘Serambi Majapahit’. Disebut serambi Majapahit karena serambi ini memiliki delapan tiang penyangga bergaya Majapahit dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit.  Bangunan serambi ini merupakan bangunan tambahan yang dibangun pada masa Adipati Unus atau yang terkenal dengan sebutan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor saat menjadi sultan Demak kedua pada tahun 1520. Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan menghadap ke arah kiblat. Di dalam ruang utama masjid, juga terdapat  pawestren atau ruangan untuk shalat bagi wanita, dengan luas 15×17,30 meter yang terletak di sisi selatan masjid. Ruang shalat wanita ini dibangun pada 1866 ketika KRMA Arya Purbaningrat menjadi adipati Demak. Atapnya berbentuk limas, disangga delapan pilar bergaya Majapahit. Masih ada napas akulturasi pada bagian interior masjid. Perubahan dari tata cara berserah kepada sang pencipta agama Hindu di ruang terbuka ke dalam masjid memunculkan ide untuk membuat interior masjid menjadi lebih luas. Kesan luas ini bisa disaksikan pada bagian ruang utama masjid yang berukuran 25×26 meter yang mampu menampung lebih dari 500 jamaah ini. Di sebelah kanan ruangan utama, terdapat ruang khalwat atau ruang perenungan berukuran 2×2,5 meter ini dulunya dipakai para penguasa Kesultanan Demak untuk memohon petunjuk Allah SWT. Hampir seluruh ruangan ini dipenuhi ukiran model Majapahit. Pada salah satu sudutnya terdapat relief aksara Arab yang memuliakan kebesaran Allah SWT. Sementara itu, di luar bangunan utama, di kompleks masjid Agung Demak juga terdapat beberapa bangunan pendukung. Di kompleks masjid, terdapat 60 pusara makam pejuang Muslim Demak dan para pengikutnya. Antara lain, para sultan Demak, seperti Raden Patah, Pati Unus, dan Sultan Trenggono.

DAFTAR RUJUKAN

Purwadi & Maharsi. 2005. Babad Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.

0 comments:

Post a Comment