Akulturasi budaya Hindu-Budha yang
mempengaruhi bangunan Masjid Demak

Proses akulturasi terjadi suatu unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat
yang satu berhadapan dengan unsur kebudayaan itu terserap ke dalam kebudayaan
penerima tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan sendiri (Dewabrata,
2009: 9). Proses tersebut adalah proses dimana percampuran antara dua budaya
yang berbeda tetapi tidak perlu menghilangkan budaya yang asli.
Syarat lain terbentuknya akulturasi adalah adanya keseragaman (homogehity), seperti nilai baru yang
tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya. Kemudian syarat fungsi,
seperti nilai baru yang diserap hanya sebagai suatu manfaat yang tidak penting
atau hanya sekedar tampilan, sehingga proses akulturasi dapat berlangsung
dengan cepat. Dengan demikian suatu nilai yang tepat fungsi dan bermanfaat bagi
pengembangan kebudayaan akan memiliki daya tahan yang lama (Sachari, 2007: 30).
Dalam garis besar tidak semua isi dari kebudayaan tersebut dapat tercampur
karena tidak semua kebudayaan bisa menerima kebudayaan yang lainnya. Meskipun
bisa, proses akulturasi sangat lama sedangkan daya tahannya relatif rendah.
Dalam proses akulturasi diperlukan juga adanya “seleksi”, yaitu bahwa
proses akulturasi akan berjalan secara baik jika kebudayaan yang datang
“dipilih” dengan pertimbangan yang matang. Hal itu dilakukan agar kita dapat
menyeleksi “donor” budaya yang sesuai dengan kebutuhan, baik secara subjektif
maupun secara objektif. Akulturasi merupakan proses jalan tengah antara
konfrontasi dan fusi, antara isolasi dan Absorbsi, Akulturasi merupakan proses
jalan tengah antara masa lampau dan masa depan. Jika dua pihak bertemu dalam
sikap konfrontasi, akan muncul konflik, dan jika keseimbangan tercapai tanpa
perselisihan, suasana koeksistensi akan tercipta (Sachari, 2007: 30). Dalam
akulturasi pastinya ada yang dilamakan seleksi, seleksi yang dimaksud tersebut
adalah penyeleksian untuk memilih atau menyaring sebuah budaya yang masuk,
sehingga dapat di terima dan dianggap oleh masyarakat dengan baik. Juga
berfungsi untuk meminimalisir adanya konflik karena perbedaan budaya yang
dimiliki.
Memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru pada arsitektur
Islam, sudah menandakan adanya akulturasi di dalam arsitektur Islam, khususnya
di pulau jawa. Pada awal perkembangan agama Islam di pulau jawa pastinya
mengalami proses selektif tanpa adanya kekerasan. Sehingga sebagian nilai-nilai
lama masih terkandung dalam budaya yang baru. Ajaran Islam yang masuk tanpa
adanya kekerasan dan juga unsur-unsur
kebudayaan lama yang masih ada bersifat terbuka. Karena itulah
arsitektur Islam mengalami akulturasi dengan budaya lama, khususnya arsitektur
pada masjid-masjid di Indonesia.
Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat daerah-daerah yang secara
relatif lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan karena terutama disebabkan
oleh faktor komunikasi yang memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi
daerah. Demikian pula terjadinya pengaruh Hindu yang terutama pada awal
perkembangannya yang terjadi di daerah-daerah yang ada pada jalur-jalur
perdagangan seperti daerah yang dekat ke pantai, biasanya lebih dahulu menerima
pengaruh Hindu tersebut (Rochym,1983: 109). Dari hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa salah satu penyebab perbedaan-perbedaan bentuk masjid di seluruh
Nusantara.
Faktor sejarah, latar belakang, faktor lingkungan serta adat istiadat
atau kebudayaan masyarakat setempat sangatlah mempengaruhi terjadinya
akulturasi di Indonesia, contoh dari akulturasi masjid di Indonesia yaitu pada
Masjid Demak. Akulturasi yang terdapat di Masjid Demak sangatlah banyak, salah
satu contohnya adalah akulturasi budaya Hindu-Budha yang mempengaruhi bangunan
Masjid Demak. Di dalam Masjid Demak itu sendiri terdapat budaya Hindu-Budha
yang sangat kental. Menurut legenda sebelum membangun
Masjid Demak, Sunan Kalijaga berdiri di tengah-tengah lahan tempat masjid akan didirikan sambil
merentangkan tangan kemudian
tangan kirinya tertuju kearah bumi dan tangan kanannya tertuju ke arah kiblat.Sikap ini
dilakukannya dengan maksud bahwa dalam berarsitektur orang harus memperhatikan
kaidah–kaidah atau nilai–nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah-kaidah baru yang akan dimasukkan. Kaidah–kaidah
inilah harus dipadukan dengan baik dalam karya arsitektur
Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya . Pertimbangan memadukan unsur-unsur Budaya lama dengan budaya baru
dalam arsitektur Islam, sudah menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur
Islam, khususnya di Jawa. Apalagi pada awal perkembangan agama Islam di Jawa, dilakukan dengan proses, selektif tanpa kekerasan, sehingga
sebagian nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk
dikembangkan. Kaidah Islam dalam membuat masjid adalah
arah kiblat, tempat Imam (Maihrab), tempat Jemaah, tempat
ber–wudhu adanya pemisahan ruang antara pria dan wanita. Sedangkan adanya bentuk meru, pendopo (Mandapa), dan gerbang merupakan
kaidah-kaidah dalam Hindu. Kemudian kesan mengayomi,
adanya serambi dan kentongan merupakan kaidah– kaidah
asli dari bumi Nusantara. Kaidah–kaidah itu semua mempunyai jiwa dan kesan
tersendiri dan tidak bisa diubah. Tetapi dengan mengubah
beberapa unsur berdasarkan kaidah–kaidah Islam dan
memadukannya dengan kaidah-kaidah yang sudah ada dan memiliki
kesamaan makna, akhirnya dapat dihasilkan suatu karya yang merangkum kaidah–kaidah tersebut . Hal ini yang menyebabkan terwujudnya bentuk
baru tanpa menentang kaidah–kaidah yang
sudah ada sebelumnya, sehingga rangkuman kaidah– kaidah tersebut dapat
berfungsi lebih baik bagi masyarakat yang menganut agama Islam. Jadi akulturasi dalam arsitektur Islam pada
walam perkembangannya di Jawa, diperkenakan oleh ‘’wali’’ ( waliyullah sebagai
orang yang dianggap dekat dengan Tuhan (Allah) dan diyakini memiliki berbagai
kelebihan. Karena itulah para wali sangat dihormati dan disegani karena selain
bertugas mengajarkan agama Islam, beliau juga masih menghormati kebudayaan yang
berkembang sebelum masuknya agama Islam.
Bangunan ini berdiri di atas lokasi sekitar alun-alun kota Demak, seperti
layaknya masjid-masjid Agung yang dibuat di saat raja-raja Islam sedang
berkuasa. Penonjolan pertama pada masjid ini ialah terletak pada bentuknya yang
menunjukkan adanya perbauran dengan unsur Hindu pada saat itu, yang kemudian
menunjukkan kecondongan bentuknya pada bangunan candi (Rochym,1983: 109).
Pernyataan di atas membuktikan benar bahwa Masjid Demak memiliki budaya
Hindu-Budha, dapat di pastikan pengaruh pada saat masa Kesultanan Demak,
Hindu-Budha banyak pengaruhnya dalam pembuatan bangunan. Masjid Demak memiliki
bentuk atap yang tumpang tindih seperti punden berundak, dan pada atap yang
tumpang tindih itu ganjil sama seperti budaya Hindu pada pembuatan pura atau
candi yang berjumlah 3-11. Pada akulturasi arsitektur Islam juga harus
memperhatikan kaidah atau nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan
kaidah baru yang dimasukkan. Pada masa tersebut sudah ada kaidah Hindu dan
Budha yang sudah menjadi kaidah yang ada di Indonesia. Sedangkan kaidah Islam
merupakan kaidah yang masih baru yang akan dimasukkan, kaidah-kaidah tersebut
yang akan dipadukan dengan baik dan tidak memaksa dalam karya arsitektur Islam sehingga
tidak terjadi benturan budaya.
Dari motif-motif hias yang terdapat pada tiang-tiangnya, tampak adanya
hubungan dengan budaya Majapahit (Rochym,1983: 109).dalam motif-motif tersebut mempunyai
hubungan dengan Majapahit, sedangkan Majapahit merupakan kerajaan yang menganut
Hindu-Budha. Secara langsung Masjid Demak mengandung budaya Hindu-Budha pada
motif tiangnya. di dalam motif tersebut terkandung arsitektur yang sangat
indah, dengan gaya pengukiran. Gaya pengukiran pada tiang itu adalah budaya yang
ada pada Hindu Budha itulah mengapa taing tersebut masuk dalam budaya Indonesia
pada saat itu.
Arsitektur
Masjid Agung Demak dipengaruhi oleh arsitektur jawa kuno. Pada masa kerajaan
Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok
dari arsitektur Jawa Hindu yang dipengaruhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek
tersebut adalah atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi
ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali.
Bentuk atap bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalisasi dan
orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan penting
memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi (Yulianingsih, 2010:
194).
Bagian-bagian
tersebut merupakan salah satu contoh dari akulturasi Islam dengan Budaya
Hindu-Budha. Pada atap yang diberi nama atap meru, ruang keramat dan tiang guru
yang melingkup ruang cela. Ini merupakan ciri khas dari bangunan-bangunan suci
pada masa kerajaan jawa kuno. Di dalam masjid Demak juga terdapat prasasti yang
bergambar bulus, prasasti juga merupakan karya seni pada Hindu-Budha. Masjid
Demak juga ada Pintu bledheg. Pintu tersebut mengandung karya arsitektur yang
sangat bain dan gaya ukir pada pintu Bledheg tersebut memiliki unsur
Hindu-Budha di dalamnya. Karena pola-pola ukir yang ada pada pintu tersebut
adalah pola ukir yang dimiliki kebudayaan Hindu-Budha pada saat itu.
DAFTAR RUJUKAN
Purwadi & Maharsi. 2005. Babad
Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan
amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah
Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan
Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam
Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.
2 comments:
kita juga punya nih artikel mengenai 'Akulturasi', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1571/1/Artikel_10504179.pdf
trimakasih
semoga bermanfaat
Wkwk:v
Post a Comment