Wednesday 17 October 2012

Akulturasi budaya Hindu-Budha yang Mempengaruhi Bangunan Masjid Demak


         Akulturasi budaya Hindu-Budha yang mempengaruhi bangunan Masjid Demak
Masjid Demak merupakan Masjid yang banyak mengandung akulturasi dari Hindu Budha yang sangat kental. Sebelum penulis menjelaskan tentang akulturasi Hindu-Budha pada Masjid Demak. Penulis terlebih dahulu akan menjelaskan tentang akulturasi secara umum.
Proses akulturasi terjadi suatu unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat yang satu berhadapan dengan unsur kebudayaan itu terserap ke dalam kebudayaan penerima tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan sendiri (Dewabrata, 2009: 9). Proses tersebut adalah proses dimana percampuran antara dua budaya yang berbeda tetapi tidak perlu menghilangkan budaya yang asli.
Syarat lain terbentuknya akulturasi adalah adanya keseragaman (homogehity), seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya. Kemudian syarat fungsi, seperti nilai baru yang diserap hanya sebagai suatu manfaat yang tidak penting atau hanya sekedar tampilan, sehingga proses akulturasi dapat berlangsung dengan cepat. Dengan demikian suatu nilai yang tepat fungsi dan bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan akan memiliki daya tahan yang lama (Sachari, 2007: 30). Dalam garis besar tidak semua isi dari kebudayaan tersebut dapat tercampur karena tidak semua kebudayaan bisa menerima kebudayaan yang lainnya. Meskipun bisa, proses akulturasi sangat lama sedangkan daya tahannya relatif rendah.
Dalam proses akulturasi diperlukan juga adanya “seleksi”, yaitu bahwa proses akulturasi akan berjalan secara baik jika kebudayaan yang datang “dipilih” dengan pertimbangan yang matang. Hal itu dilakukan agar kita dapat menyeleksi “donor” budaya yang sesuai dengan kebutuhan, baik secara subjektif maupun secara objektif. Akulturasi merupakan proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi, antara isolasi dan Absorbsi, Akulturasi merupakan proses jalan tengah antara masa lampau dan masa depan. Jika dua pihak bertemu dalam sikap konfrontasi, akan muncul konflik, dan jika keseimbangan tercapai tanpa perselisihan, suasana koeksistensi akan tercipta (Sachari, 2007: 30). Dalam akulturasi pastinya ada yang dilamakan seleksi, seleksi yang dimaksud tersebut adalah penyeleksian untuk memilih atau menyaring sebuah budaya yang masuk, sehingga dapat di terima dan dianggap oleh masyarakat dengan baik. Juga berfungsi untuk meminimalisir adanya konflik karena perbedaan budaya yang dimiliki.
Memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru pada arsitektur Islam, sudah menandakan adanya akulturasi di dalam arsitektur Islam, khususnya di pulau jawa. Pada awal perkembangan agama Islam di pulau jawa pastinya mengalami proses selektif tanpa adanya kekerasan. Sehingga sebagian nilai-nilai lama masih terkandung dalam budaya yang baru. Ajaran Islam yang masuk tanpa adanya kekerasan dan juga unsur-unsur  kebudayaan lama yang masih ada bersifat terbuka. Karena itulah arsitektur Islam mengalami akulturasi dengan budaya lama, khususnya arsitektur pada masjid-masjid di Indonesia.
Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat daerah-daerah yang secara relatif lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan karena terutama disebabkan oleh faktor komunikasi yang memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi daerah. Demikian pula terjadinya pengaruh Hindu yang terutama pada awal perkembangannya yang terjadi di daerah-daerah yang ada pada jalur-jalur perdagangan seperti daerah yang dekat ke pantai, biasanya lebih dahulu menerima pengaruh Hindu tersebut (Rochym,1983: 109). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab perbedaan-perbedaan bentuk masjid di seluruh Nusantara.
Faktor sejarah, latar belakang, faktor lingkungan serta adat istiadat atau kebudayaan masyarakat setempat sangatlah mempengaruhi terjadinya akulturasi di Indonesia, contoh dari akulturasi masjid di Indonesia yaitu pada Masjid Demak. Akulturasi yang terdapat di Masjid Demak sangatlah banyak, salah satu contohnya adalah akulturasi budaya Hindu-Budha yang mempengaruhi bangunan Masjid Demak. Di dalam Masjid Demak itu sendiri terdapat budaya Hindu-Budha yang sangat kental. Menurut legenda sebelum membangun Masjid Demak, Sunan Kalijaga berdiri di tengah-tengah lahan tempat masjid akan didirikan sambil merentangkan tangan kemudian tangan kirinya tertuju kearah bumi dan tangan kanannya tertuju ke arah kiblat.Sikap ini dilakukannya dengan maksud bahwa dalam berarsitektur orang harus memperhatikan kaidah–kaidah atau nilai–nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah-kaidah baru yang akan dimasukkan. Kaidah–kaidah inilah harus dipadukan dengan baik dalam karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya . Pertimbangan memadukan unsur-unsur Budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam, sudah menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi pada awal perkembangan agama Islam di Jawa, dilakukan dengan proses, selektif tanpa kekerasan, sehingga sebagian nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan. Kaidah Islam dalam membuat masjid adalah arah kiblat, tempat Imam (Maihrab), tempat Jemaah, tempat ber–wudhu adanya pemisahan ruang antara pria dan wanita. Sedangkan adanya bentuk meru, pendopo (Mandapa), dan gerbang merupakan kaidah-kaidah dalam Hindu. Kemudian kesan mengayomi, adanya serambi dan kentongan merupakan kaidah– kaidah asli dari bumi Nusantara. Kaidah–kaidah itu semua mempunyai jiwa dan kesan tersendiri dan tidak bisa diubah. Tetapi dengan mengubah beberapa unsur berdasarkan kaidah–kaidah Islam dan memadukannya dengan kaidah-kaidah yang sudah ada dan memiliki kesamaan makna, akhirnya dapat dihasilkan suatu karya yang merangkum kaidah–kaidah tersebut . Hal ini yang menyebabkan terwujudnya bentuk baru tanpa menentang kaidah–kaidah yang sudah ada sebelumnya, sehingga rangkuman kaidah– kaidah tersebut dapat berfungsi lebih baik bagi masyarakat yang menganut agama Islam.  Jadi akulturasi dalam arsitektur Islam pada walam perkembangannya di Jawa, diperkenakan oleh ‘’wali’’ ( waliyullah sebagai orang yang dianggap dekat dengan Tuhan (Allah) dan diyakini memiliki berbagai kelebihan. Karena itulah para wali sangat dihormati dan disegani karena selain bertugas mengajarkan agama Islam, beliau juga masih menghormati kebudayaan yang berkembang sebelum masuknya agama Islam.
Bangunan ini berdiri di atas lokasi sekitar alun-alun kota Demak, seperti layaknya masjid-masjid Agung yang dibuat di saat raja-raja Islam sedang berkuasa. Penonjolan pertama pada masjid ini ialah terletak pada bentuknya yang menunjukkan adanya perbauran dengan unsur Hindu pada saat itu, yang kemudian menunjukkan kecondongan bentuknya pada bangunan candi (Rochym,1983: 109).
Pernyataan di atas membuktikan benar bahwa Masjid Demak memiliki budaya Hindu-Budha, dapat di pastikan pengaruh pada saat masa Kesultanan Demak, Hindu-Budha banyak pengaruhnya dalam pembuatan bangunan. Masjid Demak memiliki bentuk atap yang tumpang tindih seperti punden berundak, dan pada atap yang tumpang tindih itu ganjil sama seperti budaya Hindu pada pembuatan pura atau candi yang berjumlah 3-11. Pada akulturasi arsitektur Islam juga harus memperhatikan kaidah atau nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah baru yang dimasukkan. Pada masa tersebut sudah ada kaidah Hindu dan Budha yang sudah menjadi kaidah yang ada di Indonesia. Sedangkan kaidah Islam merupakan kaidah yang masih baru yang akan dimasukkan, kaidah-kaidah tersebut yang akan dipadukan dengan baik dan tidak memaksa dalam karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya.
Dari motif-motif hias yang terdapat pada tiang-tiangnya, tampak adanya hubungan dengan budaya Majapahit (Rochym,1983: 109).dalam motif-motif tersebut mempunyai hubungan dengan Majapahit, sedangkan Majapahit merupakan kerajaan yang menganut Hindu-Budha. Secara langsung Masjid Demak mengandung budaya Hindu-Budha pada motif tiangnya. di dalam motif tersebut terkandung arsitektur yang sangat indah, dengan gaya pengukiran. Gaya pengukiran pada tiang itu adalah budaya yang ada pada Hindu Budha itulah mengapa taing tersebut masuk dalam budaya Indonesia pada saat itu.
Arsitektur Masjid Agung Demak dipengaruhi oleh arsitektur jawa kuno. Pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipengaruhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut adalah atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalisasi dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi (Yulianingsih, 2010: 194).
Bagian-bagian tersebut merupakan salah satu contoh dari akulturasi Islam dengan Budaya Hindu-Budha. Pada atap yang diberi nama atap meru, ruang keramat dan tiang guru yang melingkup ruang cela. Ini merupakan ciri khas dari bangunan-bangunan suci pada masa kerajaan jawa kuno. Di dalam masjid Demak juga terdapat prasasti yang bergambar bulus, prasasti juga merupakan karya seni pada Hindu-Budha. Masjid Demak juga ada Pintu bledheg. Pintu tersebut mengandung karya arsitektur yang sangat bain dan gaya ukir pada pintu Bledheg tersebut memiliki unsur Hindu-Budha di dalamnya. Karena pola-pola ukir yang ada pada pintu tersebut adalah pola ukir yang dimiliki kebudayaan Hindu-Budha pada saat itu.

DAFTAR RUJUKAN

Purwadi & Maharsi. 2005. Babad Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.




2 comments:

kita juga punya nih artikel mengenai 'Akulturasi', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1571/1/Artikel_10504179.pdf
trimakasih
semoga bermanfaat

Post a Comment